Selasa, 23 September 2008

PENGGUNAAN MODEL PEMBELAJARAN PERSONAL UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP ANAK TUNARUNGU (B.d.II) PADA MATA PELAJARAN IPS

Oleh: Tim Peneliti LPMP Jambi
(Dr. Rusdi, M.Sc., Nenden Nurheni, S.Pd., Sutimah, S.Pd., Hayati, S.Pd., Romi Aries, SH)

Sutimah, S.Pd., Staf Seksi Pemetaan Mutu dan Supervisi LPMP Provinsi Jambi bersama tim, melakukan penelitian tentang Penggunaan Model Pembelajaran Personal untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep Anak Tunarungu (B.d.II) Pada Mata Pelajaran IPS. Hasil penelitian tersebut diedit dan dipublikasi oleh Sutimah sebagai berikut :

Pembelajaran bukanlah suatu konsep atau praktik yang sederhana, melainkan bersifat kompleks dan menjadi tugas, serta tangggung jawab guru dalam membelajarkan peserta didiknya. Pengelolaan pembelajaran yang baik harus dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip pengelolaan dan prinsip-prinsip pembelajaran. Namun, dalam praktiknya permasalahan sering terjadi dalam pembelajaran, apakah itu bersumber dari kemampuan guru dalam mengajar atau input siswa bahkan dari unsur-unsur pendukung lainnya.

Permasalahan-permasalahan yang timbul dalam pembelajaran sangat kompleks. Secara praktis, guru adalah ujung tombak dalam pembelajaran. Strategi dan manajemen guru untuk mengatasi masalah pembelajaran sangat dibutuhkan dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Sementara itu, setiap mata pelajaran dan peserta didik mempunyai karakteristik yang unique, terutama anak berkebutuhan khusus, yakni anak tunarungu. Keunikan tersebut menjadi sebuah daya tarik untuk dijadikan fokus dalam penelitian ini.

Anak luar biasa merupakan anak berkebutuhan khusus yang harus mendapatkan perlakuan secara khusus. Anak berkebutuhan khusus, terutama anak tunarungu mempunyai keunikan tersendiri dalam kehidupannya. Keterbatasan dalam mendengar dan berbicara mengakibatkan terbatasnya kemampuan mereka dalam bersosialisasi.

Salim (1983) menyatakan bahwa secara paedagogis ketunarungan berarti kekurangan atau kehilangan pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan pendidikan khusus. Hal tersebut dipertegas oleh Telford (1981)dengan pernyataan sebagai berikut:

The deaf as those hearing in non functional for ordinary educational and social purpose.The hard of hearing are those whose sense of hearing defective but functional with a hearing aid."

Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa tunarungu adalah seseorang yang pendengarannya tidak berfungsi untuk tujuan pendidikan dan sosialisasi. Kurang dengar adalah sesorang yang memiliki kerusakan pada indera pendengaran tetapi dapat berfungsi jika dibantu dengan alat bantu dengar.

Menyikapi hal tersebut di atas, maka pennulis telah mencoba melakukan penelitian yang berkenaan dengan pembelajaran Pengetahuan Sosial pada Anak Tunarungu jenjang SDLB sebagai kajian dalam penelitian ini, dengan mempertimbangkan aspek kemudahan guru dalam membelajarkan siswa dan pemahaman siswa dalam menerima materi, serta besosialisasi. Salah satu yang menarik dalam penelitian ini adalah bagaimana strategi guru membelajarkan peserta didik khususnya kelas II jenjang SDLB Mata Pelajaran Pengetahuan Sosial melalui penerapan model personal.

Model pembelajaran personal beranjak dari pandangan kedirian atau selfhood dari individu (Soekamto, 1984). Dengan demikian, konsep ini diusahakan untuk memungkinkan siswa atau peserta didik dapat memahami keberadaan dirinya sendiri secara baik, bertanggung jawab, dan lebih kreatif untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Jadi, model personal lebih menekanan pada kesadaran pribadi dalam proses pembelajaran.

Menurut Rogers (1986) ada lima fase dalam model pembelajaran personal, yaitu :

  1. Mengartikan situasi yang sudah ada, yaitu guru memberikan motivasi agar siswa bebas berekpresi
  2. Mengembangkan wawasan, siswa mendiskusikan masalah dan guru memotivasi dan membantu penyelesaian masalah siswa
  3. Mengeksplorasi Masalah, siswa dimotivasi untuk mendifinisikan masalah yang dihadapi. Guru menerima dan mengklarifikasi ide siswa
  4. Merencanakan dan membuat keputusan, guru mengklarifikasi berbagai kemungkinan keputusan yang diambil siswa. Siswa merencanakan tindakan awal sesuai dengan keputusan yang diambil
  5. Mengintegrasikan, siswa menambah pengetahuan yang lebih baik dan mengembangkan beberapa tindakan yang positif. Guru memberikan motivasi.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian tindakan kelas. Adapun data hasil pengamatan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Namun, penelitian ini tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi hanya memberikan gambaran nyata tentang variabel, gejala atau keadaan. Permasalahan yang diambil dalam penelitian ini adalah informasi yang aktual saat dilaksanakannya penelitian.

Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan dengan dua siklus. Masing-masing siklus terdapat 3 pertemuan dengan setiap pertemuan 2 X 35 menit. Subjek penelitian adalah 3 sekolah SDLB B.d-II (Kelas II, Jurusan Tunarungu), yaitu SDLB Kota Jambi, SDLB Muara Bulian Kabupaten Batanghari, dan SLB Sri Soedewi Machsun Shofwan yang ada di Provinsi Jambi. Namun demikian, materi atau topik yang diberikan sama.

Berdasarkan hasil analisis data dapat dinformasikan bahwa model personal yang diterapkan di SDLB B.d-II (Tunarungu) pada 3 sekolah baik dari sisi guru maupun siswa mulai dari pertemuan 1 sampai dengan 6 mengalami peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari hasil pencapaian skor rata-rata dari setiap pertemuannya baik itu dari sisi guru maupun siswa dalam proses pembelajaran, serta nilai hasil evaluasi siswa.

Hal penting yang harus diketahui bahwa penerapan model personal, lebih menekankan kepada guru agar melakukan pendekatan secara individu kepada siswa. Strategi, pemilihan media atau alat peraga serta penggunaannya sangat membantu anak untuk berkomunikasi (non verbal). Hal ini merupakan langkah yang sangat efektif dan efesien untuk membangkitkan siswa dalam belajar. namun demikian, guru juga disarankan untuk memanajemen anak secara klasikal.

Terdapat kelemahan dalam penerapan model pembelajaran personal, yakni pada tahap ketiga dalam hal lemahnya anak untuk berdiskusi. hal ini diasumsikan karena anak tunarungu memIliki keterbatasan dalam mendengar dan berbicara. Oleh karena itu, dapat disarankan kepada para peneliti atau guru untuk dapat mengembangkan model personal dalam penerapannya atau dapat mengaplikasikannya pada bidang studi dan/atau jurusan lainnya.




Tidak ada komentar: